Vocalexposes.com – Video viral yang tersebar melalui media sosial tentang advokat yang bernada marah dan menghamburkan uang di depan Kantor Mapolsek Kota Banyuwangi beberapa waktu lalu mendapat perhatian dari organisasi advokat. Ketua Umum DPN Peradi (Slipi), Otto Hasibuan, mengatakan persoalan yang dialami advokat dalam video tersebut juga dialami sebagian besar advokat di Indonesia.
“Advokat pasti pernah mengalami kejadian dimana ada oknum di kepolisian yang meminta klien untuk mundur atau tidak menggunakan jasa advokat,” ujar Otto Hasibuan saat dihubungi Hukumonline, Rabu (17/11/2021).
Otto melihat praktik buruk yang terjadi seperti kasus di Mapolsek Banyuwangi sudah sejak lama terjadi dan belum berubah sampai sekarang. “Jadi ini sebenarnya masalah kronis yang sudah terjadi selama puluhan tahun dan sampai sekarang tidak berubah. Apa yang dialami advokat tersebut juga dialami sebagian besar advokat di Indonesia,” ungkap Otto.
Terlepas dari cara yang digunakan advokat yang diketahui namanya Nanang Slamet itu, Otto berpendapat peristiwa itu perlu mendapat perhatian serius dari Kapolri dan Kapolda serta jajarannya. Otto mengingatkan seharusnya ada saling menghormati karena posisi advokat setara dengan aparat penegak hukum lainnya termasuk polisi. Kejadian ini muncul karena tersumbatnya saluran untuk mendapat keadilan (access to justice).
Menurutnya, peristiwa ini menjadi pemicu kepolisian untuk menata ulang dan membuka diri. Otto melihat kepolisian saat ini posisinya sangat kuat sekali. Tapi, kekuatan itu menjadi positif jika digunakan untuk keadilan masyarakat. Tapi jika yang terjadi sebaliknya maka berdampak buruk. Otto mendukung Polri dengan berbagai kewenangan yang dimiliki untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
Senada, Sekjen Peradi (Slipi), Hermansyah Dulaimi, mengatakan kejadian tersebut merupakan akibat buntunya saluran komunikasi antara penasihat hukum dengan penyidik. “Penasihat hukum (dalam video tersebut, red) juga terlalu emosional. Tapi kejadian ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi semua pihak agar saling menghormati tugas masing-masing,” ujarnya.
Hermansyah mengakui advokat itu merupakan anggota Peradi. “Komisi Pengawas akan melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan dalam waktu secepatnya.”
Ketua Umum Peradi Rumah Bersama Advokat (Peradi RBA), Luhut MP Pangaribuan, menilai peristiwa itu tidak biasa dan tidak normatif. Sebab, biasanya jika ada keluhan atas pelayanan atau sikap penyidik salurannya adalah melalui laporan ke atasannya dan/atau divisi propam. “Tapi kenapa peristiwa yang seharusnya biasa itu tiba-tiba jadi luar biasa?”
Luhut melihat kasus ini mirip dengan konsep KPK menangani korupsi karena merupakan kejahatan luar biasa. Karena itu, pendekatannya harus menggunakan cara-cara yang luar biasa. Karena itulah, penyidik dan jaksa disatukan dalam lembaga KPK dengan segala kewenangannya yang bersifat khusus seperti penyadapan dan operasi tangkap tangan (OTT).
“Pertanyaannya apakah sang advokat yang bersangkutan mengalami? Jika ya, maka ini akibat dari suatu sebab yang luar biasa. Karena kewenangan polisi besar, maka ekses-ekses seperti itu menjadi suatu keniscayaan,” kata Luhut.
Menurut Luhut, subsistem tidak berjalan dengan baik karena dominasi kewenangan penyidik Polri. Hal itu yang memicu munculnya peristiwa tersebut. Dia mengakui secara biasa advokat itu tidak mencerminkan kode etiknya sebagai pribadi yang harus selalu normatif dan biasa.
Tapi, karena polisi tidak memberikan penghargaan kepada advokat yang bersangkutan dengan cara kliennya dipaksa untuk mencabut kuasa dari advokat itu. Hal seperti itu menjadi kejadian luar biasa sebagai keniscayaan dan timbul reaksi keras sekalipun tidak dibenarkan secara prosedur.
Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI), Luthfi Yazid, menyebut keributan antara seorang advokat dengan penyidik di Mapolsek Banyuwangi karena penyidik dianggap mengintervensi ruang lingkup kerja-kerja advokat. Kasus itu mestinya menjadi pelajaran sesama penegak hukum agar memiliki batasan kerja masing-masing.
Oleh karena itulah, batasan ruang kerja sesama penegak hukum harus diperkuat dalam revisi UU No.18 Tahun 2003. Tak hanya itu, hak imunitas advokat haruslah dipertegas dalam revisi UU 18/2003 nantinya. Dengan begitu, harga diri profesi advokat sebagai officium nobile tidak dipandang sebelah mata dan tak diperlakukan diskriminatif. “Ini semua harus diatur dalam revisi UU Advokat,” saran dia.
Menurut Pendiri Japan Indonesia Lawyers Association (JILA) ini organisasi advokat harus memiliki standardisasi sistem semacam Board of Committee yang terdiri dari advokat-advokat pilihan dan memiliki integritas. Mulai kode etik, pendidikan, dan modul pelatihan meskipun terdapat banyak wadah organisasi advokat. “Dengan begitu, semua advokat akan dihargai dan organisasi advokat akan disegani oleh penegak hukum lainnya,” katanya.
Hingga berita ini diturunkan, upaya untuk menghubungi Ketua Umum Peradi SAI Juniver Girsang, dan Sekjen Peradi SAI Patra M Zen belum mendapat tanggapan. Upaya menghubungi melalui telepon dan pesan melalui aplikasi WhatsApp belum berbuah hasil.
Seperti diketahui, video viral berdurasi 2 menit 54 detik itu menunjukan seorang advokat yang berjalan dari pintu gerbang menuju depan pintu kantor Mapolsek Banyuwangi berteriak Kanit Reskrim. Kemudian dia mengatakan selaku advokat tidak terima mengingat dalam UU Advokat diatur posisi advokat adalah sama dan sebanding (dengan aparat penegak hukum lain, red).
“Saya tidak terima ketika klien kami mengatakan kenapa kalian pakai advokat? Kenapa tidak diselesaikan dengan kita saja? Saya sebagai advokat telah membangun komunikasi dengan kapolres, kapolsek, dengan kanit, apa maksudnya?” ujar advokat yang terekam dalam video viral tersebut.
Lebih lanjut, advokat tersebut mengatakan advokat posisinya sama di hadapan hukum sebagai aparat hukum. “Ini kami sampaikan kepada khalayak umum. Ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, seringkali klien kami diintervensi dengan cara menekan, sehingga kami sebagai advokat diputus kuasa hukumnya,” bebernya.
Advokat itu kemudian menghamburkan uang yang disebutnya didapat dari kliennya sebesar Rp40 juta rupiah dalam pecahan Rp50 ribu. “Apa kurang gaji negara? Apa kurang? Saya terus terang mendapatkan kuasa hukum Rp40 juta rupiah, ini silakan ambil semua,” ujarnya sembari menghamburkan uang yang diambil dari dalam tas milik rekannya.
SUMBER : hukumonline.com
Komentar