oleh

Bisakah Natal dan Lebaran Idul Fitri Berlangsung Bersamaan?

Vocalexposes.com – Natal selalu jatuh di tanggal 25 Desember. Namun hari raya lain, seperti misalnya Idul Fitri jatuh di tanggal yang berbeda setiap tahunnya.

Namun, pernahkan Natal dan Idul Fitri berada di bulan yang sama atau berlangsung secara bersamaan?

Jawabannya pernah. Meski tidak berlangsung di hari yang sama.

Astronom amatir Indonesia, Marufin Sudibyo mengatakan, pada tahun 2000 Idul Fitri alias Lebaran jatuh di tanggal 27 Desember. 2 hari setelah natal berlangsung.

Lantas, kapan Natal dan Idul Fitri dapat berlangsung bersamaan lagi dan bagaimana cara menghitungnya?

“Secara teori 30 tahun Gregorian setara dengan 31 tahun Hijriyyah. Maka kesempatan (Natal dan Idul Fitri berlangsung bersamaan) itu akan berulang lagi pada Desember 2030 kelak,” terang Marufin kepada Kompas.com, Senin (23/12/2019).

Marufin menjelaskan, ada prinsip dasar dalam menghitung tahun Gregorian alias Matahari dengan tahun Hijriyyah.

Dalam satu tahun Gregorian atau Matahari ada 365,24219 hari.

Sementara dalam satu tahun Hijriyyah ada 354,36705 hari.

Hal inilah yang menjadi dasar dan dapat menjelaskan kenapa hari raya Idul Fitri selalu maju setiap tahunnya.

Selain itu, Lebaran di Arab Saudi dan Indonesia juga bisa berbeda.

Ini bukan karena zona waktu yang berbeda. Namun adanya keragaman syarat dan ketentuan untuk menetapkan awal bulan Syawal.

Dalam pemberitaan Kompas.com sains edisi (4/6/2019) dijelaskan bahwa Indonesia dan Arab sama-sama melakukan dua metode untuk penetapan awal Syawal: penghitungan secara matematis atau hisab serta pengamatan hilal (bulan sapit tipis penanda awal bulan) secara langsung atau rukyat.

Namun, Indonesia dan Arab memiliki syarat dan ketentuan berbeda dalam rukyat sehingga Lebaran dua negara ini bisa berbeda.

Dalam tulisannya pada Selasa (4/6/2019), astronom amatir Marufin Sudibyo mengungkapkan, Indonesia memiliki kriteria Imkan Rukyat.

Berdasarkan kriteria itu, hasil pengamatan hilal bisa diterima jika tinggi bulan minimal 2 derajat dengan umur bukan minimal 8 jam serta elongasi Bulan-matahari minimal 3 derajat.

Kriteria itu bisa digunakan untuk menolak laporan rukyat.

“Terutama jika laporan berdasarkan pada observasi mata telanjang saja, tanpa didukung alat bantu apapun dan tanpa citra/foto yang menjadi bukti,” katanya.

Sementara di Arab, rukyat bisa diterima asal ada yang melaporkan kenampakan hilal. Selama bulan sudah di atas ufuk saat senja akhir Ramadhan, maka hilal bisa diterima.

Sumber : Kompas.com

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *