Dasar hukum Indonesia sangat kuat di sana, faktor klaim sejarah dari China soal Natuna gugur kalau dilawan dengan hal ini.
Bermodal UNCLOS ini Indonesia mengancam akan membawa masalah klaim Nine Dash Line China yang mencaplok Natuna ke pengadilan internasional.
“Indonesia mengatakan bahwa jika tidak dapat menyelesaikan perselisihan dengan China di perairan Kepulauan Natuna di Laut China Selatan, Indonesia dapat menggunakan jalur Pengadilan Internasional untuk menyelesaikannya,” tulis thepaper.cn.
Pada akhir Desember 2019, sebuah video kapal nelayan asing yang diduga menyerbu perairan Natuna beredar di media sosial Indonesia.
Menurut The Diplomat, film tersebut berawal dari sebuah organisasi nelayan bernama Lubuk Lumbang.
Kelompok itu mengatakan para nelayan diusir oleh penjaga pantai China di zona ekonomi eksklusif Indonesia pada akhir Oktober 2019.
Dikutip Zonajakarta.com dari BBC, video tersebut menjadi fokus nasional setelah diberitakan oleh media Indonesia, Kementerian Luar Negeri RI memprotes China masing-masing pada 30 Desember 2019 dan 2 Januari 2020 terhadap aktivitas illegal fishing China.
Pemerintah Indonesia mengambil sikap tegas, menuduh kapal nelayan China berulang kali menyusup ke perairan Kepulauan Natuna milik Indonesia pada akhir Desember 2019, di bawah pengawalan kapal Penjaga Pantai China, dan mengatakan bahwa klaim China tidak sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan mengirim sejumlah kapal perang dan pesawat militer ke daerah itu untuk mempertahankan kedaulatan.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sendiri sejak bertahun-tahun lalu sudah membangun pangkalan militer yang berisikan batalyon komposit di pulau Natuna.
Batalyon komposit di Natuna ini terdiri dari pasukan gabungan TNI tiga matra.
Alutsista yang ditempatkan TNI di Natuna pun kelas satu.
Penjagaan ekstra ketat di Natuna disebabkan adanya agresivitas China dengan klaim Nine Dash Line nya.
Analis senior dari Australian Strategic Policy Institute, Huong Le Thu, mengatakan bila Indonesia sangat berhati-hati dalam masalah Natuna dengan China.
“Saya pikir Indonesia sangat hati-hati selektif tentang bagaimana dan kapan bereaksi dan menanggapi ketegasan China, yang bahkan saya sebut provokasi, di Laut Natuna,” ujarnya.
Huong mengira jika para pengambil keputusan di Indonesia akan menyelesaikan masalah Natuna dengan dialog.
Media asing benarnews.org juga mengungkap bahwa pejabat senior Indonesia menjelaskan jika militer Indonesia melakukan upaya tak terpublikasi tapi tegas di Natuna Utara.
“Fakta bahwa Angkatan Laut Indonesia dan Bakamla (Badan Keamanan Maritim Indonesia) mengerahkan kapal perang dan Coast Guard untuk membayangi Haiyang Dizhi menunjukkan (posisi) Indonesia“.
“Tidak harus melakukan tindakan afirmatif seperti menimbulkan konflik atau semacamnya,” katanya seperti dikutip dari benarnews.org.
Bukan tanpa sebab Indonesia bersikap hati-hati terhadap China di Natuna.
Indonesia haramkan Natuna dikuasai asing terutama China karena tak ingin mimpi buruk negeri ini menjadi kenyataan.
Dikutip Zonajakarta.com dari artikel terbitan RANE 1 April 2022, Indonesia mati-matian berusaha agar Natuna tak jatuh ke tangan China.
“Wilayah maritim di sekitar Kepulauan Natuna juga termasuk lokasi-lokasi kunci pertahanan yang strategis, menjadikannya semakin penting dari sudut pandang Indonesia.
Jika Cina menguasai pulau-pulau ini atau wilayah di sekitarnya, itu akan merusak posisi keamanan Indonesia dengan memberi pasukan Cina tempat yang dekat untuk melancarkan serangan terhadap Indonesia.
Kedekatan pulau-pulau dengan Indonesia menghadirkan risiko keamanan yang signifikan untuk pertahanan negara Indonesia dan memungkinkan militer untuk memantau jalur perdagangan melalui wilayah tersebut,” tulis perusahaan intelijen risiko RANE.
Disamping itu, jauh sebelum rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, Amerika Serikat telah mengingatkan Indonesia soal ancaman pesawat pembom China.
Dikutip Zonajakarta.com dari Forbes, sebuah lembaga pemikir Amerika Serikat telah mengumpulkan peta interaktif tentang bagaimana pangkalan udara, rudal, dan radar Tiongkok di Laut China Selatan yang disengketakan memungkinkan Beijing untuk memproyeksikan kekuatan militer hingga Singapura, Vietnam, dan Indonesia.
Peta tersebut, yang disusun oleh Pusat Kajian Strategis dan Internasional, menggambarkan jangkauan senjata dan radar Tiongkok yang dikerahkan di berbagai pulau kecil dan terumbu karang di Laut China Selatan.
Misalnya, mengklik tab Pesawat Pengebom peta menunjukkan bahwa pembom H-6 China yang berbasis di Pulau Woody – sekitar 400 mil dari Hong Kong – dapat menyerang target jauh di timur Filipina, dan sejauh selatan Singapura, pengiriman penting rute melalui Selat Malaka, dan ibu kota Indonesia Jakarta.
Pesawat tempur J-11 China dapat menjangkau hingga Singapura, Balikpapan (yang juga merupakan wilayah Kalimantan Timur), dan Laut Jawa, serta ke timur Filipina.
Vietnam Selatan dan Malaysia akan berada dalam jangkauan kekuatan udara China.
Rudal anti-kapal dan anti-pesawat Tiongkok yang dikerahkan di Kepulauan Spratly, yang merupakan sekelompok terumbu kecil di tengah Laut China Selatan juga dapat menutupi sebagian besar wilayah, menurut peta CSIS.
Dari Mischief Reef, sekitar 900 mil tenggara Hong Kong dan sekitar 500 hingga 600 mil dari Manila dan Kota Ho Chi Minh, YJ-62 dan YJ-12B rudal jelajah anti-kapal dapat menyerang sejauh pantai Vietnam, Brunei dan Filipina pulau Palawan.
Rudal permukaan-ke-udara HQ-9 akan menutupi wilayah udara di sekitar pulau dan terumbu karang yang dikuasai China.
Maka tak heran jika kini Indonesia mati-matian menjaga Natuna agar tak jebol bahkan sampai memborong banyak alutsista untuk menjaga kedaulatan negara.***ZJ
Komentar